Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perdebatanku dengan Cacing Tanah

Daftar isi
    Perdebatanku dengan Cacing Tanah

     "Hayo... Hayo..." Teriak suara itu dari sebelah rumah
    Seorang wanita paruh baya menyampaikan pesan pada burung-burung yang akan terjun ke sawahnya.
    "Hayo... Hayoo" sambil mengepak-epak tangannya tanda memberi pesan itu.

    Aku yang sedang bergulat dengan tai sapi (teletong; jawa) hnya bisa menikmati suara itu.
    Tetanggaku yang lain lewat didekatku "ngapain capek-capek mengambil tai itu, jual saja! 1 truk laku 300rb", katanya. "Ini akan ku pindahkan ke depan rumahku, suatu saat akan ku jadikan pupuk". Lalu dia berlalu begitu saja.

    "Hayoo... Hayoo.." teriak ibu paruh baya itu, di sisi yang lain juga sama, terdengar ibu-ibu dengan lengkingan yg sama, hayoo hayoo mengusir burung juga.

    Tiba-tiba aku mendengar suara makian, "Heh, Bajingan! Siapa yang menganggu tidurku", ku menoleh kanan-kiri tak ada orang. 
    Dan dengan nada tinggi kembali berteriak, "COOK, MATAMU!!! Aku di sini", ku mencari sumber suara itu. Ternyata seekor cacing yang mengeliat-liat lincah dengan tubuh memerah, dan tampak marah. 
    Lalu ku dekati binatang kecil itu 

    "Kenapa?!" Tanyaku santai

    Cacing itu menjawab masih dengan nada tinggi "Asu!!! Ngapain kamu mengangguku?!"
    Akupun nggak terima, lalu ku balas "Matamu!!! Aku manusia cokk!!"
    "Ini tempat tinggalku, ngapain kamu menganggu aku dan teman-temanku disini, ini tempat kita", kata si cacing itu.
    "Tenang, aku nggak akan menyakitimu, aku hanya mengambil ini (sambil mengambil tai sapi yang sudah mengering) akan ku pindahkan ke depan rumah. Aku ingin menanam sayur-sayuran disana".
    Cacing itu tak terima dan mengeliat-liat gesit seperti sedang kesurupan pertanda menolak dipindahkan.
    Sedangkan aku tetap memindahkan tai sapi itu beserta mereka dengan paksa, seperti penggusur ulung yang menjanjikan tempat yang lebih bagus dan layak pada mereka yang kecil dan tak berdaya. Terasa sangat bajingan tapi tak apa karena aku lebih kuat dan berkuasa dari cacing-cacing itu.

    Sementara tak jauh dari situ, sapi-sapi itu berteriak-teriak "Emoh-emoh!" pertanda tainya tak boleh ku bawa. Namun karena siang itu akulah yang merasa paling berkuasa tak ku pedulikan teriakan hewan-hewan itu. 

    "Hayo... hayoo..." Ibu paruh baya itu masih berjuang menyelamatkan padi-padinya dadi serangan burung yang membabi buta. 

    Setiba ditempat yang baru, cacing-cacing yang terpaksa ikut denganku kembali berteriak, "Bangsat! ternyata disini panas!"
    Sedangkan aku hanya bisa berlagak menenangkan "Itu karena kamu belum terbiasa saja, Disini tu sejuk, udaranya lebih segar dan tentu lebih bersih".
    Akhirnya cacing itu terdiam kehabisan kata-kata, wajahnya tetap sama, memerah menahan emosi tapi tak berdaya dengan penguasa, tak selang berapa lama terdengar suara setengah berteriak dari belakangku. 

    "Bos...! Kopinya mana?" Kata cacing yang tampak lebih dewasa; menggunakan kaca mata hitam, sambil tiduran sembari menghisap Dji Sam Soe.
    "Jancokkk...! sopo meneh iki" Batinku.
    "Boosss!! Kopine endi?!!" Nadanya makin tinggi dan kepulan asap lang keluar dari cangkem-nya tak lagi berseni.
    "Tunggu sebentar" Kataku sambil masuk kedalam rumah membuatkan kopi.
    15 Menit Kemudian

    "Ini cok kopinya" menyodorkan secangkir kopi pada cacing itu
    "Nah gitu dab, kan nganteng" Sambil tersenyum menerima persembahan kopi dariku.
    Aku hanya terdiam dan menjauh dari cacing yang sok jagoan itu.
    "Cokkk... Asuuu.. Bajingan tenan" kata cacing sambil memuntahkan kopi yang setemgah memenuhi mulut busuknya itu.
    Aku yang pura-pura tak mendengar maki-makian cacing itu tertawa jahat, "Modyaro".
    Ku tinggal pergi mandi cacing-cacing itu, dan suara-suara makian itu semakin tak terdengar dari dalam kamar mandi. Setalah aku mandi, ku lihat ayam-ayam tetangga berdatangan dan mengosak-asik tai sapi itu, ku dekati tapi malah lari, paadahal aku hanya ingin menegur untuk tak mengambil cacing-cacing yang disini.
    Malah aku bertemu seekor cacing yang tampak sedih, lalu ku bertanya. "Kamu kenapa? 
    "Dasar manusia, janjimu manis, tapi buktinya apa, teman-temanku di makan ayam, aku kehilangan mereka" Cacing itu menangis semakin menderu-deru.
    Dengan wajah hipokrit ku dekati cacing malang itu sambil berkata "Sudahlah, itu sudah menjadi takdir dan jalan hidupnya". 
    Lantas aku pun pergi meninggalkan cacing malang itu tanpa rasa bersalah sedikitpun.

    "Hayoo... hayooo.... hayooo!!! masih terdengar suara itu hingga senja menjelma menjadi kenangan yang sulit dilupakan.